“Bu
guru jangan pulang” kata salah satu adik yang hampir sepuluh hari kami ajar.
Mereka satu-persatu mencium tangan kanan kami. “Hati-hati di jalan, belajar
lagi yang pintar ya” jawabku sambil menahan air mata ini yang sudah
berkaca-kaca. Ada yang memakai sandal jepit, sepatu warna-warni, baju seragam
yang tidak sama dengan yang lain dan ada pula yang memakai tas lusuh. Bu guru?
Jujur saat aku dipanggil dengan sapaan itu rasanya merinding dan terharu.
Kala
itu pertama kalinya aku mengikuti kegiatan pengabdian di kampus yang
diselenggarakan oleh fakultasku. Aku bukan jurusan pendidikan melainkan non
pendidikan yaitu manajemen. Tetapi saat itu pertama kalinya Fakultas Ekonomi
UNESA mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang disebut dengan FEM
(Fakultas Ekonomi Mengabdi).
Tuban
adalah kota yang menjadi target di FEM I kala itu. Kami berada di Desa
Tegalrejo, Kecamatan Widang. Untuk menuju kesana kami mengendarai bus kampus.
Sepanjang perjalanan menuju desa, sawah membentang di kanan-kiri jalan. Desa
Tegalrejo dilewati oleh sungai Bengawan Solo. Mayoritas penduduknya beragama
islam dan bekerja sebagai petani.
Tidak
hanya mengajar, kegiatan kami juga meliputi penyuluhan kesehatan,
pengajian,jalan sehat,dan lainnya. Tetapi bagiku mengajar sangat memorable. Jiwa
guru yang mungkin terpendam dalam diriku seakan bangun dan menjalar di darahku.
Apalagi saat melihat senyum dan tawa adik-adik yang kami ajar.
Tidak
banyak ilmu yang bisa kami berikan
Setidaknya
kami berbagi pengetahuan yang kami miliki
Tidak
banyak materi yang bisa kami berikan
Setidaknya
kami berbagi kebahagiaan yang kami syukuri
Keceriaan
di tengah ketidakpastian negeri ini..
Energi
Positif..Tetaplah bersama kami
SENYUM
dan TAWA
“Adik-adik, siapa yang ingin jadi presiden?,” tanyaku
pada adik-adik kelas tiga SD yang aku ajar kala itu.
“Saya bu” jawab ketua kelas
si Ihsan sambil mengangkat tangan kanannya.
“Saya nggak mau jadi
presiden bu, saya mau jadi orang kaya biar bantu bapak” jawab si Nurdin yang
cekatan sekali.
“Presiden itu apa bu?” Tanya
si Lia dengan polosnya.
“Saya ingin jadi guru ngaji
bu” jawab Desi si imut.
Percakapan di atas merupakan salah satu
kegiatanku saat mengajar. Pertanyaan sederhana dengan beragam jawaban yang
menggelikan namun sangat menggugah perasaanku.
Ini
kejujuran bukan kepolosan
Ini
pernyataan bukan jawaban
Ini
kami para tunas bangsa
Inilah
kami yang tidak membutuhkan janji-janjimu
Janji-janji
Sang Penguasa
Kami
hanya ingin PENGAKUAN..
Akui
kami sebagai bagian dari amanahmu..
Untukmu
Penguasa Negeri ini..
Salam METAL dari kami (METAL=Mengabdi Total)
“Ini untuk ibu” salah
seorang adik memberikan sebuah pensil kepadaku. “Ini buatmu bu guru, jangan
lupakan kami ya” kata seorang adik kepadaku dengan memberikan gantungan kunci
boneka. Hanya sepuluh hari kami bersama mereka, tetapi berjuta kasih sayang
yang tercurahkan.
Pemberianmu
seakan obat dari segala luka..
Pemberianmu
yang mungkin hanya merogoh sisa uang jajan..
Pemberianmu
yang sangat berarti..
Ada
KETULUSAN di dalamnya..
Ada
KASIH SAYANG menyertainya..
“Bu, jangan pulang dulu. Ayo
main lagi”
“Nanti ngajinya sama siapa
lagi?”
“Kapan bu kesini lagi?”
“Bu Guru nanti jangan
lupakan kami ya bu”
“Bu Guru jaga kesehatan ya”
Sapaan itu sangat melegakan kami. Isak tangis yang menyertai kepulangan kami menjadi awal dari kesadaran diri. Sadar akan SETITIK ARTI DIBALIK NAMAMU.. GURU..
Untuk
guru kami..
Untuk
guruku..
Seorang
guru..
Para
guru..
Bukan
hanya sebatas sebutan namamu..
Namamu
karena pengabdianmu
Tetapi..
Guru..
sebutan itu adalah PENGHARGAAN
Atas
jasamu yang tidak ternilai oleh apapun..
TERIMAKASIH
dari yang TERKASIH..
Dari
kasihmu yang selalu mendo’akan keberkahan untukmu..
WAHAI
GURU..
No comments:
Post a Comment