Friday 30 October 2015

CERMIN PENDIDIKAN: “BU GURU JANGAN PULANG, TETAPLAH DISINI MENGAJAR”




“Bu guru jangan pulang” kata salah satu adik yang hampir sepuluh hari kami ajar. Mereka satu-persatu mencium tangan kanan kami. “Hati-hati di jalan, belajar lagi yang pintar ya” jawabku sambil menahan air mata ini yang sudah berkaca-kaca. Ada yang memakai sandal jepit, sepatu warna-warni, baju seragam yang tidak sama dengan yang lain dan ada pula yang memakai tas lusuh. Bu guru? Jujur saat aku dipanggil dengan sapaan itu rasanya merinding dan terharu.

Kala itu pertama kalinya aku mengikuti kegiatan pengabdian di kampus yang diselenggarakan oleh fakultasku. Aku bukan jurusan pendidikan melainkan non pendidikan yaitu manajemen. Tetapi saat itu pertama kalinya Fakultas Ekonomi UNESA mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang disebut dengan FEM (Fakultas Ekonomi Mengabdi).
Tuban adalah kota yang menjadi target di FEM I kala itu. Kami berada di Desa Tegalrejo, Kecamatan Widang. Untuk menuju kesana kami mengendarai bus kampus. Sepanjang perjalanan menuju desa, sawah membentang di kanan-kiri jalan. Desa Tegalrejo dilewati oleh sungai Bengawan Solo. Mayoritas penduduknya beragama islam dan bekerja sebagai petani.
Tidak hanya mengajar, kegiatan kami juga meliputi penyuluhan kesehatan, pengajian,jalan sehat,dan lainnya. Tetapi bagiku mengajar sangat memorable. Jiwa guru yang mungkin terpendam dalam diriku seakan bangun dan menjalar di darahku. Apalagi saat melihat senyum dan tawa adik-adik yang kami ajar.


Tidak banyak ilmu yang bisa kami berikan
Setidaknya kami berbagi pengetahuan yang kami miliki
Tidak banyak materi yang bisa kami berikan
Setidaknya kami berbagi kebahagiaan yang kami syukuri
Keceriaan di tengah ketidakpastian negeri ini..
Energi Positif..Tetaplah bersama kami
SENYUM dan TAWA

            “Adik-adik, siapa yang ingin jadi presiden?,” tanyaku pada adik-adik kelas tiga SD yang aku ajar kala itu.
“Saya bu” jawab ketua kelas si Ihsan sambil mengangkat tangan kanannya.
“Saya nggak mau jadi presiden bu, saya mau jadi orang kaya biar bantu bapak” jawab si Nurdin yang cekatan sekali.
“Presiden itu apa bu?” Tanya si Lia dengan polosnya.
“Saya ingin jadi guru ngaji bu” jawab Desi si imut.
      Percakapan di atas merupakan salah satu kegiatanku saat mengajar. Pertanyaan sederhana dengan beragam jawaban yang menggelikan namun sangat menggugah perasaanku.


Ini kejujuran bukan kepolosan
Ini pernyataan bukan jawaban
Ini kami para tunas bangsa

Ini kami penerus jalan negeri ini..
Inilah kami yang tidak membutuhkan janji-janjimu
Janji-janji Sang Penguasa
Kami hanya ingin PENGAKUAN..
Akui kami sebagai bagian dari amanahmu..
Untukmu Penguasa Negeri ini..


            Salam METAL dari kami (METAL=Mengabdi Total)
“Ini untuk ibu” salah seorang adik memberikan sebuah pensil kepadaku. “Ini buatmu bu guru, jangan lupakan kami ya” kata seorang adik kepadaku dengan memberikan gantungan kunci boneka. Hanya sepuluh hari kami bersama mereka, tetapi berjuta kasih sayang yang tercurahkan.
Pemberianmu seakan obat dari segala luka..
Pemberianmu yang mungkin hanya merogoh sisa uang jajan..
Pemberianmu yang sangat berarti..
Ada KETULUSAN di dalamnya..
Ada KASIH SAYANG menyertainya..

“Bu, jangan pulang dulu. Ayo main lagi”
“Nanti ngajinya sama siapa lagi?”
“Kapan bu kesini lagi?”
“Bu Guru nanti jangan lupakan kami ya bu”
“Bu Guru jaga kesehatan ya”


            Sapaan itu sangat melegakan kami. Isak tangis yang menyertai kepulangan kami menjadi awal dari kesadaran diri. Sadar akan SETITIK ARTI DIBALIK NAMAMU.. GURU..
Untuk guru kami..
Untuk guruku..
Seorang guru..
Para guru..
Bukan hanya sebatas sebutan namamu..
Namamu karena pengabdianmu
Tetapi..
Guru.. sebutan itu adalah PENGHARGAAN
Atas jasamu yang tidak ternilai oleh apapun..
TERIMAKASIH dari yang TERKASIH..
Dari kasihmu yang selalu mendo’akan keberkahan untukmu..
WAHAI GURU..

Keep writing,always inspiring#30DWC

No comments:

Post a Comment